Pertanyaan:
Apa hukumnya mengambil gambar/foto dengan (kamera) Handphone?
Jawaban:
Tentang hukum menggambar sendiri, secara umum telah ada larangan tentangnya dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di dalam hadits-hadits yang banyak.
Dan yang dimaksud menggambar di sini adalah menggambar mahkhluk bernyawa. Adapun apabila menggambar rumah, pohon, gunung, atau yang sejenisnya, maka hal tersebut tidaklah mengapa.
Adapun menggambar mahkluk bernyawa maka secara umum hukumnya haram. Dan syariat Islam ketika melarang hal tersebut tentunya karena ada kerusakan-kerusakan dan kejelekan besar yang bisa ditimbulkan darinya.
Kita bisa lihat kondisi di zaman sekarang yang mana banyak sekali perangkat handphone/smartphone (yang dilengkapi dengan kamera-red), dan hal ini juga ditanyakan tentang hukumnya, maka fenomena mengambil foto dengan kamera HP ini telah menyebabkan kerusakan kepada banyak orang, baik itu kerusakan pada sisi ibadah maupun akhlak kepribadiannya.
Banyak sekali terjadi kerusakan yang berkaitan dengan kehormatan dan kemuliaan seorang wanita muslimah yang disebabkan oleh foto-foto yang diambil dengan kamera HP tersebut.
Dalam hal yang berkaitan dengan ibadah, maka betapa banyak orang yang disibukkan dengan berfoto ria dengan HP atau gagdet mereka ketika melakukan amalan-amalan ketaatan baik itu di tanah haram (Makkah dan Madinah) maupun di tempat-tempat mulia yang lainnya. Kemudian mereka mengirimkan hasil foto tersebut kepada orang lain, dan ini termasuk bentuk riya’ dalam amalan.
Padahal Allah ‘Azza wa Jalla (memerintahkan agar kita ikhlas dan menjauhi riya’-red), firmanNya:
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.” (QS Ali Imran [3]: 97)
Dan firmanNya:
وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS Al-Baqarah [2]: 196)
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ
“Barangsiapa yang berhaji karena Allah, tidak berkata jorok dan tidak berbuat kefasikan….”
Ibadah haji harus diniatkan karena Allah semata, adapaun jika disibukan dengan berfoto ria (maka tidak diperbolehkan-red).
Sampai-sampai sebagian orang ketika di tempat ibadah, mereka bergaya/berpose seperti layaknya seorang yang sedang berdoa kemudian difoto. Dia mengangkat tangannya sebagaimana orang yang sedang berdoa, kemudian setelah selesai difoto, dia menurunkan kembali tangannya. Maka sejatinya dia tidak berdoa dan mengangkat tangannya karena Allah.
Saya pernah mendapatkan cerita dari seseorang di Masjid ini (Masjid Nabawi-red), dia bercerita bahwa:
“Aku pernah melihat seseorang berjalan bersama temannya, kemudian salah satu dari mereka duduk sebagaimana duduk tasyahud (dalam shalat-red), setelah itu diambil foto/gambarnya dan kemudian berdiri lagi.”
Saya juga pernah menyaksikan sendiri di Masjid Nabawi ini, setelah shalat Shubuh ada seorang peziarah yang mengambil mushaf Al-Quran yang besar, setelah itu dia membuka dan meletakan mushaf itu dengan mengangkatnya seperti ini (Syaikh sambil mempraktikkanya-red). Kemudian teman yang satunya mengambil fotonya dari arah sana dan dari arah sini, setelah itu mushaf tersebut diletakan kembali di tempatnya. Dia sama sekali tidak membacanya, dan tidak pula membukanya untuk membaca firman Allah. Dia melakukan hal itu semata-mata hanya untuk tujuan difoto yang kemudian diharapkan diketahui oleh orang lain bahwa dia sedang membaca mushaf Al-Quran di Masjid Nabawi. Lihatlah apa yang telah diakibatkan oleh perangkat-perangkat HP ini…
Saat itu saya tidak meninggalkan dia begitu saja, saya memegang (meraih tangannya-red) dan menjelaskan kepadanya tentang hukumnya. Saya terangkan juga bahwa apa yang dilakukannya itu membahayakan amal ibadah dan agamanya.
Inilah penjelasan dari permasalah yang ditanyakan, intinya di dalam (permasalah mengambil gambar/foto dengan HP-red) terdapat kerusakan-kerusakan yang tidak bisa diperkirakan batasannya.
Kami memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar Allah mengampuni kita semua, kami juga berdoa kepada Allah agar memberikan manfaat terhadap apa yang telah kami sampaikan dan semoga Allah menambahkan ilmu serta taufikNya.
Diterjemahkan secara bebas dari fatwa Syaikh Prof. Dr. Abdurrazaq al-Badr hafidzahullah yang disampaikan dalam sesi tanya-jawab pada ceramah agama di Masjid Nabawi, Madinah Saudi Arabia.
Alih bahasa: Muadz Mukhadasin
Dengarkan fatwa versi aslinya di https://www.youtube.com/watch?v=NnPMu8eWaRw.
*Syaikh Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafidzahumallahu Ta’ala adalah salah seorang ulama besar dari Kota Madinah, ayah beliau Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafidzahullah merupakan salah satu ulama hadits yang sangat disegani keilmuannya di zaman ini. Syaikh Abdurrazaq hingga saat ini juga tercatat sebagai guru besar aqidah di Universitas Islam Madinah dan pengajar tetap di Masjid Nabawi.